Cari Blog Ini

Jumat, 31 Januari 2014

Eccedentesiast


“Dia tersenyum, tetapi sebenarnya tidak. Ia tertawa tetapi sebenarnya Ia menangis. Ia ceria tetapi sebenarnya Ia bersedih.”  
Apa kamu tahu mengapa Ia dapat seperti itu? Ada apa dengannya? Tidak. Tidak. Jika kamu berfikir dia gila, aku tegaskan sekali lagi. Dia tidak gila. Tidak gila. Lalu kenapa? Ia hanya berusaha mencoba tersenyum di saat semua orang menjauh.
Ia pernah berputus asa dalam menghadapi dunianya.  Bagaimana Ia tidak berputus asa jika segala sesuatu yang Ia harapkan dalam dunianya tidak dapat Ia dapatkan? Bagaimana Ia tidak berputus asa jika semua hal di dunia ini harus Ia hadapi dengan tangisan? Bagaimana tidak Ia berputus asa jika segala yang Ia lakukan tidak berarti apa-apa untuk orang lain?
Dia Eccedentesiast. Apa Ia salah menjadi Eccedentesiast? Apa Ia salah jika Ia tetap menjalani harinya di balik tangisannya? Apa dia berdosa jika Ia mencoba tersenyum walaupun sambil bersedih? Tidak. Walalupun Ia pernah berfikir tidak ada gunanya lagi jika Ia hidup, tetapi untung sajalah Tuhan menyelamatkannya. Tuhan memberikan senyumnya yang indah itu untuk tetap menjalani hari.
Lalu, bukankah menjadi Eccedentesiast lebih baik dibanding seseorang yang selalu terpuruk dalam kehidupannya tetapi tidak pernah bangkit untuk mejalai hidup? Lebih baik mana? Menjadi Eccedentesiast bukan?  Ia berhasil! Ia berhasi l tersenyum! Tersenyum dalam tangisannya.
Tetapi sekali lagi. Eccedentesiast? Apa itu? Eccedentesiast merupakan sebuah kata asing yang merupakan sebutan untuk seseorang yang selalu menyembunyikam perasaan sakitnya dibalik senyumnya.
Ah? Berarti dia munafik? Tidak. Jika kamu berfikir Ia munafik. Itu tidak benar. Bahkan jauh dari kata kemunafikan. Ia hanya tetap tersenyum saat dunia menjauhinya. Kau tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya seorangEccedentesiast lakukan.
Quotes by : http://eccedentessiast.wordpress.com/2012/12/18/dia-eccedentesiast/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar