Eccedentesiast
“Dia
tersenyum, tetapi sebenarnya tidak. Ia tertawa tetapi sebenarnya Ia
menangis. Ia ceria tetapi sebenarnya Ia bersedih.”
Apa kamu tahu mengapa Ia dapat seperti
itu? Ada apa dengannya? Tidak. Tidak. Jika kamu berfikir dia gila, aku tegaskan
sekali lagi. Dia tidak gila. Tidak gila. Lalu kenapa? Ia hanya berusaha mencoba
tersenyum di saat semua orang menjauh.
Ia pernah berputus asa dalam menghadapi
dunianya. Bagaimana Ia tidak berputus asa jika segala sesuatu yang Ia
harapkan dalam dunianya tidak dapat Ia dapatkan? Bagaimana Ia tidak berputus
asa jika semua hal di dunia ini harus Ia hadapi dengan tangisan? Bagaimana tidak
Ia berputus asa jika segala yang Ia lakukan tidak berarti apa-apa untuk orang
lain?
Dia Eccedentesiast. Apa Ia
salah menjadi Eccedentesiast? Apa Ia salah jika Ia tetap menjalani
harinya di balik tangisannya? Apa dia berdosa jika Ia mencoba tersenyum
walaupun sambil bersedih? Tidak. Walalupun Ia pernah berfikir tidak ada gunanya
lagi jika Ia hidup, tetapi untung sajalah Tuhan menyelamatkannya. Tuhan
memberikan senyumnya yang indah itu untuk tetap menjalani hari.
Lalu, bukankah
menjadi Eccedentesiast lebih baik dibanding seseorang yang
selalu terpuruk dalam kehidupannya tetapi tidak pernah bangkit untuk mejalai
hidup? Lebih baik mana? Menjadi Eccedentesiast bukan? Ia
berhasil! Ia berhasi l tersenyum! Tersenyum dalam tangisannya.
Tetapi sekali lagi. Eccedentesiast? Apa
itu? Eccedentesiast merupakan sebuah kata asing yang merupakan
sebutan untuk seseorang yang selalu menyembunyikam perasaan sakitnya dibalik
senyumnya.
Ah? Berarti dia munafik?
Tidak. Jika kamu berfikir Ia munafik. Itu tidak benar. Bahkan jauh dari kata
kemunafikan. Ia hanya tetap tersenyum saat dunia menjauhinya. Kau tidak akan
pernah tahu apa yang sebenarnya seorangEccedentesiast lakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar